Mewaspadai Adanya Kesombongan Dalam Diri Kita

Alkisah ada rombongan wisatawan yang menumpang bus pariwisata yang menghantar mereka berkeliling kota London. Ketika melewati kathedral St Paul, sopir bus menceritakan bahwa dibutuhkan bertahun-tahun untuk membangun gereja tersebut dan merupakan karya terbesar dari Sir Christopher Wren. Seorang nenek yang duduk di bangku belakang mengatakan: “Di Doncaster, kami juga membangun bangunan yang sama dan bisa selesai dalam waktu enam bulan!”.

Millenium Drome – Greenwich

Perjalanan berikutnya ke Millenium Drome di Greenwich. Kembali sang sopir menjelaskan dibutuhkan dana jutaan poundsterling dan perlu waktu 2 tahun untuk pembangunannya. Nenek tadi menimpali, di Doncester, bangunan seperti itu bisa diselesaikan dalam jangka waktu. lebih pendek dan dengan biaya yang lebih rendah.

Akhirnya wisata diakhiri di Trafalgar Square, tapi kali ini si sopir diam saja, sampai si nenek menegurnya dan bertanya: ” tiang-tiang yang berada di dekat air mancur yang berada di belakang patung-patung singa itu, kapan dibangunnya?!.

Dengan tenang, sang sopir menjawab: ”wah saya juga tidak tahu, semalam saya lewat di sini, tiang-tiang dan air mancur serta patung-patung singa tersebut belum ada??!”

Sesuai dengan psikologi, sombong berarti:

  • Menghargai diri sendiri secara berlebihan
  • Sikap/perbuatan yang merendahkan orang lain
  • Merasa bangga dengan diri sendiri sehingga merasa lebih segala-galanya dibanding orang lain.

Ciri-ciri orang sombong:

* Membanggakan diri sendiri dan bersifat narsis. Minta dipuji orang lain

* Merasa benar sendiri

* Tidak menghargai orang lain

* Tidak mau mendengar orang lain

* Sering melecehkan orang lain di depan banyak orang dengan mengucapkan kata-kata kotor.

Dalam dunia nyata, banyak pemimpin yang sombong, antara lain karena merasa dirinya kaya, sukses atau masa kecilnya tidak bahagia karena dilecehkan oleh teman-temannya.

Dalam tulisan “The Cronicles of Narnia” karya C. S Lewis, professor di Cambridge University, yang sudah difilmkan tersebut, Lewis mengatakan bahwa:

  • Orang yang sombong, membenci kesombongan orang lain.
  • Orang yang sombong sering tersinggung dengan orang sombong lainnya.
  • Kesombongan adalah dosa.
  • Jangan memelihara kesombongan, karena semakin lama anda akan semakin menyukainya.
  • Orang yang sombong tidak mengenal Allah.

Kita hidup di dunia ini tidak untuk selamanya, dan ini adalah bekal kita untuk hidup setelah kematian, yaitu di kekekalan. Untuk itu kita harus terus belajar untuk memiliki kerendahan hati (humble) karena Tuhan menginginkannya demikian.

Di setiap Agama yang diakui di Indonesia, kesombongan adalah hal yang wajib dihindari. Berikut saya kutip (mohon dikoreksi jika kutipan saya salah) :

Pelajaran Tentang Kesombongan Di Beberapa Agama

Agama Islam

Sombong merupakan suatu penyakit hati yang mana pengidapnya merasa bangga dan memandang tinggi atas diri sendiri. Dalam hadist Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya; “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (H. R. Muslim). Sebagai suatu penyakit, sombong hanya bisa disembuhkan berdasarkan kesadaran diri penderitanya sendiri karena sombong bertitik berat pada kondisi hati seseorang.

Di dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda yang artinya;

”Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada sifat sombong, walaupun hanya seberat biji sawi.” (H. R. Muslim).

Jelas sudah, jika Allah tidak menyukai sifat sombong yang artinya sombong itu dilarang dan harus dihindari oleh manusia agar tidak mendapat murka Allah SWT.

 

Agama Kristen

Dalam agama Kristen, Yesus Kristus yang adalah Firman yang menjadi manusia, Ia yang adalah Tuhan bersedia menjadi pelayan.

“Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.” ~ Lukas 22:27

Tuhan juga mengundang kita untuk belajar kepada-Nya untuk memiliki hati yang rendah.

“Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” – Matius 11:29

Juga Anda bisa membaca di 1 Korintus 4:6-21.

Ingat bahwa Allah sangat membenci kesombongan.

”Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihi orang yang rendah hati. “ ~ Yakobus 4:6

Mari melihat kehidupan kita sekarang ini dari “KACAMATA SURGA”. Apakah kita sudah hidup benar ? atau masih suka kedagingan ?

Agama Budha

Sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat, kita menjalin hubungan, bergaul, bersahabat. Bisa terjadi, persahabatan kita dengan orang lain menjadi renggang, menjauh, atau bahkan putus berakhir. Salah satu penyebab yang dapat membuat hal itu terjadi adalah karena munculnya kesombongan/keangkuhan dalam diri kita atau dalam diri orang yang bergaul dengan kita.

SEBAB KESOMBONGAN
Kesombongan muncul dalam diri seseorang karena orang tersebut merasa “lebih” dibanding orang lain dalam hal:
1. Status kelahiran,
2. Kekayaan,
3. Kedudukan/jabatan,
4. Kepintaran,
5. Keelokan (merasa cantik/ ganteng) dan lainnya.

Dalam Dhamma dijelaskan akan hukum sebab akibat (Kāmma). Keadaan yang baik-tidak baik adalah sebagai akibat/buah hasil dari kebajikan yang masak. Menyadari akan hal ini hendaknya bila memperoleh yang tidak baik tidak perlu putus asa, berbuat baik yang baru akan mengubah keadaan. Ketika memperoleh yang baik tidak perlu disombongkan, melainkan harus digunakan untuk menanam kebajikan yang baru. Ingat !!! Dalam Dhamma, sebagaimana tercantum dalam Vijaya Sutta orang yang sombong adalah orang yang BODOH.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Brahmana Mānatthaddha: “Cukup, Brahmana! Bangun dan duduklah di tempatmu, karena pikiranmu telah berkeyakinan terhadap-Ku.” Kemudian Brahmana Mānatthaddha duduk di tempat duduknya dan berkata kepada Sang Bhagavā dalam syair:
“Kepada siapakah seseorang harus menghindari keangkuhan?
Kepada siapakah seseorang harus menunjukkan penghormatan?
Kepada siapakah seseorang harus menghormat?
Siapakah yang selayaknya dihormati dengan mendalam?”

[Sang Bhagavā:]
“Pertama ibu dan ayah seseorang,
Kemudian saudara kandung yang lebih tua,
Kemudian gurunya sebagai yang ke empat:
Kepada orang-orang ini, ia seharusnya menghindari keangkuhan;
Kepada orang-orang ini, ia seharusnya menghormat;
Orang-orang ini seharusnya dihormati dengan baik;
Orang-orang ini baik sekali dihormati dengan mendalam.
“Setelah menaklukkan keangkuhan, rendah hati,
Seseorang harus memberi hormat kepada para Arahanta,
Mereka yang berhati dingin, tugas-tugasnya telah selesai,
Yang tanpa-noda, tiada bandingnya.”

Agama Hindu

Setiap orang, betapapun hina dan nistanya ia, ia merasa punya “harga” dan ingin dihargai keberadaannya. Inilah yang kita sebut dengan harga-diri. Ia merupakan kebutuhan mental-psikologis yang sangat mendasar sifatnya. Kesombongan erat kaitannya dengan harga-diri. Tuntutan akan harga-diri yang berlebihan terekspresi berupa kesombongan. Makanya orang yang sombong atau angkuh juga disebut orang yang tinggi-hati; ia menghargai dirinya terlalu tinggi, secara berlebihan. Pada saat yang bersamaan, ia sangat haus akan penghargaan ini. Lontaran-lontaran seperti: “Dikiranya siapa aku ini?”, “Memangnya dia siapa?”, “Jangan samakan aku dengan orang-orang itu”, atau yang sejenisnya, mencerminkan kesombongan ini.

Kesombongan bukan hanya menyerang mereka yang kaya, para pejabat tinggi, pintar, berstatus sosial tinggi, namun bisa menyerang siapa saja. Selama masih merasa lebih dari yang lainnya sehingga merasa pantas dihargai lebih, selama itu pula kesombongan bercokol secara laten di hati setiap orang. Bagi mereka yang sombong, kelebihan-kelebihan objektif bukan merupakan prasyarat mutlak untuk merasa lebih. Walaupun secara faktual mereka tak punya kelebihan apa-apa, mereka bisa saja tetap merasa lebih.

Kesombongan bisa mengambil banyak bentuk, kasar maupun halus, dari yang bersifat fisikal, mental, hingga yang bersifat spiritual. Sombong akan harta material, kecantikan tubuh, kesehatan badan, keturunan anak, sanak-keluarga, ras, kebangsaan, komunitas sosial eksklusif lainnya, hasil karya dari keterampilan atau keakhlian jasmaniah, merupakan beberapa bentuk-bentuk umum dari kesombongan yang bersifat fisikal. Sombong akan kepintaran, kecerdasan, kecendekiawanan, gelar akademis, hasil-hasil karya seni dan intelektual, kepribadian, adat-istiadat dan budaya yang dianut, kedudukan atau jabatan sosial-budaya, sosial-politik hingga sosial-religius, ketenaran dan yang sejenisnya, merupakan beberapa bentuk-bentuk umum dari kesombongan yang bersifat mental. Menyombongkan agama atau kepercayaan yang dianut,” ajaran kerokhanian, pandangan hidup dan filsafat hidup yang dianut, jalan dan ilmu kerokhanian yang ditekuni, dikuasai, atau yang sejenisnya, merupakan beberapa bentuk-bentuk umum dari kesombongan yang bersifat spiritual.

Seseorang boleh jadi awalnya kelihatan rendah-hati, karena belum muncul rasa percaya-dirinya; namun selekas ia merasa berprestasi, merasa berhasil, kesombongan segera menyergapnya. Keberhasilan, kemenangan, perolehan atau pencapaian, umumnya merupakan pemicu utama munculnya kesombongan di permukaan. Tak sedikit orang yang tadinya (tampak) rendah-hati, tiba-tiba jadi sombong setelah memperolehnya.

Tiga Serangkai – Kesombongan, Kepemilikan dan Kemelekatan
Keberhasilan segemilang apapun, bila tanpa disertai rasa kepemilikan, pengakuan atasnya dan pengangkangan sebagai “keberhasilan-ku”, tidak memicu kesombongan, la tetap tinggal sebagai sebentuk monumen keberhasilan seperti apa adanya. Rasa kepemilikan, terjadinya pengakuan terhadapnya sehingga muncul hasrat yang kuat untuk mengangkanginya, bukan saja memicu kesombongan, tapi juga amat rawan untuk memicu kebencian hingga permusuhan. Sebab, bila ada orang lain mengakuinya juga, apalagi hendak merebutnya untuk dikangkangi sendiri, kebencian, rasa permusuhan hingga perseteruan tidak terhindarkan lagi.

Makanya, siapapun memancarkan kesombongan, dapat dipastikan kalau ia punya rasa kepemilikan dan kemelekatan yang kuat. Atau sebaliknya, siapapun punya rasa kepemilikan dan kemelekatan yang kuat, kesombongan akan selalu menyertainya kemanapun ia pergi. Tiga serangkai ini bagaikan kembarsiam.

Setiap orang melekat pada apa yang dianggapnya sebagai miliknya. Di antara semua bentuk rasa kepemilikan, maka rasa kepemilikan atas dirilah yang terkuat. Sesudahnyalah baru menyusul rasa kepemilikan atas istri/ suami, atas putra-putri, atas keturunan, atas saudara-saudari, atas kerabat dan handai-tolan dan seterusnya.

Tiada kedamaian di hati mereka yang sombong. Yang ada malah ketakutan, kecemasan, kekhawatiran, rasa waswas kalau-kalau ada yang mengunggulinya, mengalahkannya, mengusiknya dari tempat bertengger. Mereka bisa saja tampak waspada, selalu berjaga-jaga; namun semua itu hanyalah untuk menjaga kesombongannya itu. Baginya, tak ada tempat yang benar-benar tenteram nan damai di muka bumi ini.

Si kesombongan inilah yang merasa berharga; dialah yang memperkenalkan “harga-diri” dan menuntut untuk dihargai. Makanya ia akan selalu berusaha “unjuk-diri” karena butuh penghargaan, sanjungan dan pujian. Itulah makanan dan minuman yang menyehatkannya. Setiap bentuk penghargaan, sanjungan dan pujian yang diterimanya bak pupuk yang kian menyuburkan pohon kesombongan ini.

Namun jangan salah. Tak seorangpun dianjurkan untuk melakukan tindakan tak terpuji. Lakukanlah tindakan terpuji sebanyak-banyaknya; namun jangan lakukan itu demi pujian, penghargaan atau sanjungan. Lakukan itu dengan motif-motif yang luhur, yang benar-benar terpuji. Ketika seseorang melakukan suatu tindakan terpuji, ia sebetulnya sudah bisa merasakan langsung sanjungan, pujian dan penghargaan itu, karena pada saat yang bersamaan ia telah memuji Tuhan-Nya. la sebetulnya tak membutuhkan lagi bentuk-bentuk penghargaan, sanjungan dan pujian pihak luar manapun, baik kasar maupun halus, baik yang bersifat materiil maupun moril atau non-materiil lainnya. Tindakan terpuji yang mengagungkan Yang Maha Terpuji itu sudah membawa serta semua itu bersamanya.

Berdasarkan derajat kehalus-annya, kesombongan spirituallah yang paling tinggi kadar kehalusan; kesombongan mental segera menyusulnya, dan yang paling kasar adalah kesombongan fisikal. Saking halusnyalah ia paling sukar diobati. Bahkan sekedar untuk dideteksi saja, sudah sedemikian sukarnya.

Syukurnya adalah, betapa sukarpun ia diobati, kesadaran akan keberadaanya mengantarkan siapapun pada kesembuhan. Keinsyafan inilah sebetulnya awal dari kesembuhan, yang sekaligus juga merupakan obat dari berbagai jenis penyakit lainnya. Kalau kita belum sadar kalau kita sebetulnya sakit, tak akan pernah muncul hasrat untuk berobat bukan?

Kesombongan mengakar
Setiap makhluk berjasad kasar maupun halus punya ketiga sifat-dasar ini, triguna ini. Bedanya cuma, yang mana yang dominan. Mereka yang guna rajas-nya dominan, cenderung bersifat rajasik. Yang guna tamas-nya dominan, cenderung bersifat tamasik; dan yang guna sattvam-nya yang dominan, cenderung bersifat sattvik. Demikianlah; tak satu makhluk berjasad dan berakal-budi manapun yang bisa bebas dengan mudah dari cengkraman mereka.

Kesombongan (abhimana) dan kepemilikan (mamakara) merupakan ekspresi negatif dari guna rajas. Mereka mengekspresikan keakuan atau egoisme (ahamkara) dengan kuat dan dengan jelas. Disinilah mereka mengakar. Dimana ada “aku” (I-ness), disana ada “milik-ku” (mine-ness).

Guna tamas yang pesimis, lembam, malas, enggan, apatis, pasif erat kaitannya dengan tataran fisikal atau jasmani ini; rajas optimis, ambisius, aktif, dinamis, agresif erat kaitannya dengan tataran mental-psikologis ini; dan sattvam yang realistis, jernih, tenang, murni, proaktif erat kaitannya dengan tataran spiritual, rokhani. Dan sejauh ketiga tataran melekat dan menyatu dengan kebaradaan setiap orang, triguna selalu akan menyertainya kemanapun ia pergi.

Pada kebanyakan orang, apalagi yang samasekali belum tersentuh ajaran dan laku kerokhanian, rajas dan tamas merupakan guna yang paling dominan. Tertekannya tamas, secara otomatis menguatkan rajas; sebaliknya melemahnya rajas, menguatkan tamas. Mereka ibarat kedua ujung dari sebatang tongkat. Demikianlah mereka bekerja silih-berganti mendominasi khasanah batin manusia. Mungkin Anda bertanya: Lalu apa kerja dari sattvam disini?

Sebetulnya, guna sattvam-lah yang mendominasi seseorang ketika ia sadar, kesadaran mana mendorongnya hingga muncul niat untuk menekan sifat rajasik ataupun tamasik-nya. Ia bagian dikatakan mengambil fungsi pengendali dan penyeimbang. Ketika kita sadar bahwasanya kita cenderung tamasik ataupun rajasik, sattvik sudah mulai bekerja; ia bekerja bersamaan dengan terbitnya kesadaran-diri ini. Kesadarandiri itulah yang bekerja melalui guna sattvam. Dan mereka yang telah sadar, yang dalam kesehariannya berhasil menegakkan kerja dari guna sattvam, disebut juga telah punya viveka telah bisa memilah-milah mana yang sejati dan mana yang semu, mana yang asli dan mana yang palsu, mana yang sunyata dan mana yang maya.

Mengetahui akar penyebabnya, cepat atau lambat, Anda akan mengetahui juga bagaimana membinasakannya. Membinasakan kesombongan bukan kewajiban siapa-siapa. Ini kewajiban kita sendiri; ini adalah kewajiban mulia setiap orang. Mempekerjakan sebesar-besarnya guna sattvam, viveka-pun akan menyertai. Dengan hadirnya viveka, kedamaian hati dan kebahagiaan bukan lagi sekedar angan-angan.

Dari uraian pandangan beberapa agama di atas tentang kesombongan, kita tahu bahwa kesombongan adalah hal yang harus diwaspadai dan dihindari.

Teori Dunning Kruger Effect

Ada sebuah ungkapan, Padi semakin berisi akan semakin merunduk. Artinya orang semakin pandai akan semakin rendah hati. Karena menyadari bahwa kepandaiannya masih belum seberapa. Masih banyak orang lain yang mungkin lebih pandai dari dirinya.

Ada sebuah teori yang diungkapkan oleh David Dunning (Psikolog Cornell University) dan Justin Kruger, dinamakan “Dunning Kruger Effect”. Teori ini bukan menjelaskan bagaimana orang yang pandai bisa semakin rendah hati. Namun sebaliknya orang yang memiliki pengetahuan yang rendah memiliki kecenderungan untuk menilai dirinya sangat tinggi dibandingkan dengan kenyataan.

Dalam mewujudkan teori ini David Durning dan Justin Kruger melakukan sebuah percobaan. Dimana salah satunya adalah tes tentang tata bahasa.

Setelah menyelesaikan tes, para peserta yang merupakan mahasiswa diminta untuk menilai bagaimana perkiraan hasil tes mereka. Ditemukan ternyata para peserta yang mendapatkan nilai paling rendah menilai hasil tes mereka sangat tinggi. Mereka yang hasil tesnya hanya lebih baik dari 10% peserta lain. Memperkirakan hasil tes mereka berada pada kisaran 67% lebih baik dari peserta lain, sangat jauh perbedaannya.

Peserta tes yang memiliki hasil terbaik, malah sebaliknya. Mereka malah tidak yakin atau memperkirakan hasil tes mereka sedikit lebih rendah dari kenyataan.

Bukan hanya itu setelah seluruh peserta dikonfontrasi tentang kenyataan (dimana peserta diminta untuk menilai hasil tes peserta yang lain). Peserta dengan nilai terbaik, bisa memperkirakan nilai mereka semakin dekat dengan kenyataan (meningkatkan penilaian). Sedangkan peserta dengan nilai yang hanya lebih baik dari 10% peserta lain, tidak mengubah penilaian mereka.

Mengapa hal ini terjadi?

Dalam sebuah pembicaraan dengan Mark Murphy (penulis di Forbes.com). Proffesor Dunning mengatakan bahwa bias ini terjadi karena pengetahuan yang kurang. Sehingga mereka tidak tahu apakah yang mereka lakukan sudah benar atau belum. Karena pengetahuan yang kurang, kemampuan untuk menilai juga kurang.

Pengetahuan yang berkaitan dengan tes itu sendiri. Dalam tes tersebut, tata bahasa, jika seseorang kemampuan tata bahasanya rendah. Apakah mungkin bisa menilai bahwa hasil tes yang mereka lakukan tidak benar? Kemungkinan tidak.

Ketidaktahuan dan ketidakmampuan, seringkali menjebak seseorang. Merasa sudah sangat hebat, padahal masih banyak yang lebih hebat.

Kurangnya pengetahuan dan ketidakmampuan, membuat seseorang tidak mampu melakukan penilaian yang objektif. Apakah hasil pekerjaan mereka baik? Keterbatasan wawasan dan pengetahuan bisa saja menyebabkan orang ini menilai pekerjaanya sangat baik sekali, padahal hanya biasa saja. Bukan tidak mungkin malah jelek.

Sebaliknya pengetahuan dan kemampuan yang tinggi, bisa membuat seseorang untuk menilai bahwa pekerjaannya hanya rata-rata. Bukan jelek namun juga tidaklah yang terbaik. Sebab pengetahuan ini membuat seseorang tahu bahwa masih ada yang lebih baik. Serta pengetahuan biasanya membuat orang untuk berusaha memperbaiki diri.

Padi yang semakin berisi semakin merunduk. Orang yang mampu dan tahu, sadar bahwa dirinya belumlah yang terbaik. Mungkin masih banyak orang yang lebih baik.

Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.

Kita harus selalu mawas diri dan berani melakukan koreksi terhadap ucapan dan sikap kita yang mencerminkan kesombongan.

 

Ada 3 hal besar yang harus kita hindari, yaitu : Besar Kepala, Besar Mulut dan Besar Perut

Besar mulut contohnya adalah : suka sesumbar.

Sesumbar itu misalnya : “Kalau cuma begitu saja saya juga bisa…. Bahkan lebih dari orang itu”, padahal kalau disuruh beneran juga belum tentu bisa.

Referensi :

https://dalamislam.com/dasar-islam/sifat-sombong-dalam-islam

https://dhammacakka.org/?channel=ceramah&mode=detailbd&id=706

https://phdi.or.id/artikel/binasanya-kesombongan-hadirkan-kedamaian-dan-kebahagiaan

600 Total Views 1 Views Today

One thought on “Mewaspadai Adanya Kesombongan Dalam Diri Kita

Tinggalkan komentar

%d blogger menyukai ini: