Per tanggal 10 Juli 2017 Ibu Menteri Keuangan, Sri Mulyani membentuk satgas Penertiban Impor Berisiko Tinggi (PIBT) yang terdiri dari dirjen Bea cukai, Polri, TNI untuk menghentikan kegiatan impor borongan. Untuk diketahui, impor borongan telah berlangsung selama belasan tahun. Sekian lama itu juga ekosistem dan populasi pengusaha barang impor dalam skala UKM telah terbentuk. Dengan pelarangan yang terkesan mendadak dan tanpa sosialisasi tersebut menyebabkan tertahannya modal dan barang-barang yang tidak sedikit, baik di pelabuhan, direexpor, ataupun masih tertahan di negara asal.
Akibat hal ini telah terjadi kegaduhan dan kegelisahan bagi para pelaku bisnis UKM di tanah air yang tidak dapat terelakkan, di tengah-tengah lesunya perekonomian mikro saat ini. Efeknya, setiap elemen di rantai distribusi yang panjang juga terkena dampak mengingat sebagian besar barang impor tidak diproduksi di dalam negeri.
Menurut Kepala Seksi Humas Ditjen Bea dan Cukai Devid Yohannis Muhammad, istilah redline tersebut sebenarnya kurang tepat. Sebenarnya yang dimaksud jalur merah atau red line itu adalah pemeriksaan fisik dan dokumen serta pembayaran untuk barang impor. Kalau semua beres, barang baru bisa keluar. Selama ini menurutnya, ada banyak importir berisiko tinggi yang mengakali pemerintah untuk menghindari bea masuk dan atau perijinan tertentu dengan mendaftarkan barang secara GENERAL atau tidak spesifik (General Cargo). Seharusnya declare barang ini, tapi dia declare barang yang lain (Jawa Pos 2 Agustus 2017).
Disinyalir, red line yg berkepanjangan ini dapat mengakibatkan inflasi besar-besaran, pailit, kredit macet dan PHK, sehingga menyengsarakan rakyat kecil. Alih-alih ingin memperbesar pemasukan negara, tapi tidak memperhatikan dampak ekonominya.
Seharusnya produksi UKM dalam negeri harus didukung terlebih dahulu sebelum mengentikan kegiatan impor borongan secara total. Dan bagi barang-barang yang sudah ditahan ada baiknya diberikan AMNESTY, sehingga modal UKM bisa dialihkan untuk persiapan dalam negeri.
Dan seharusnya, dilakukan sosialisasi terlebih dahulu akan hal ini terkait pembatasan tenggat waktu impor borongan, sehingga tidak terjadi penumpukan modal di luar negeri. Yang atas diberi amnesti, yang bawah diberi subsidi, yang tengah jangan dibiarkan mati.
Sebenarnya bukan pedagang tidak mau bayar bea masuk, tapi pedagang tidak sanggup bayar bea masuk yang tinggi yang menyebabkan mereka tidak bisa dapat harga jual yang bersaing di pasar. Kalau mereka naikin harga pun, ada kompetitor lain yang harganya lebih murah dengan berbagai cara : bisa handcarry, bisa borongan juga, dan macam-macam cara yang penting barang masuk.
Kenapa sih kok harus impor ??
1. Barang tidak bisa diproduksi di Indonesia
2. Barang terlalu mahal untuk diproduksi di Indonesia
3. Barang consumer goods, bukan barang-barang illegal seperti narkoba, alkohol, rokok dan sebagainya.
Mendukung produk dalam negeri memang bagus, tapi apakah kita sudah siap ekspor?
Dan sekarang impactnya adalah penjual negara asing lebih gampang mengirim barang satuannya ke pengguna Indonesia (biaya ekspor pengiriman mereka disubsidi oleh negaranya) dan sangat murah. Sebagai contoh aliexpress, lazada dan shopee juga banyak penjual luar negeri yang bisa kirim ke Indonesia dan barang jatuhnya jauh lebih murah. Sedangkan produsen dalam negeri masih mematok harga yang tinggi dengan kualitas yang masih dibawah standar. Hmm….
Green Line vs Red Line
Ada dua penggolongan yang biasa disebut di dalam dunia clearance. Yaitu green line dan red line.
- Green Line atau jalur hijau biasanya adalah general cargo yang boleh masuk ke Indonesia tanpa ada dokumentasi tertentu. Jadi tinggal dicocokan antara manifes dan hasil scan barang sudah langsung dihand over lagi ke kurir untuk proses delivery.
- Red Line adalah keadaan dimana custom menahan barang karena adanya ketidak sesuaian. Berikut adalah yang menyebabkan red line :
– Manifes yang tertulis, deskrisi di airwaybill dan isi paket tidak sesuai sehingga butuh di inspeksi dengan cara di buka oleh custom.
– Under Value, atau memberikan nilai barang terlalu rendah dibandingkan dengan nilai komersial barang yang sebenarnya. Misal barang senilai USD 500 tapi dituliskan bahwa value hanya USD 20, atau malah no commercial value.
– Barang tersebut dilarang masuk ke Indonesia. Misalnya : senjata api dan benda tajam
– Barang tersebut boleh masuk Indonesia dengan dokumentasi atau rekomendasi dari departemen terkait. Misalnya : barang barang yang bisa memancarkan signal membutuhkan ijin masuk dari dirjen postel.
– Barang yang berisikan makanan/ obat2an/ barang yang dikonsumsi langsung oleh manusia
– Ketidaksesuaian berat
– Ketidaksesuaian data penerima (beberapa perusahaan di kawasan berikat yang mempunyai fasilitas P35)
Ada beberapa tips supaya barang bisa masuk green line :
– cantumkan deskripsi yang tepat untuk barang yang dikirim
– komunikasikan dengan pihak pengirim dokumen apa saja yang harus disiapkan untuk masuk Indonesia. Bisa tengok di http://eservice.insw.go.id ya
– cantumkan value yang wajar, jangan undervalue.
Biasanya barang yang termasuk general cargo, valuenya kurang dari USD 100, dan bukan barang yang dilarang, asal sesuai dan dokumentasi cukup jelas maka akan dengan mudah di release oleh custom.
Bagaimana kalau red line? Berikut yang harus dilakukan :
– Hubungi kurir yang menangani barang tersebut, kalau kurirnya bagus pasti akan di telpon kalau ada masalah
– Informasikan nomor airwaybill dan tanyakan mengapa ditahan, dan apa yang disiapkan oleh anda sebagai penerima supaya bisa cepat release.
– Siapkan dokumentasi pendukung. Biasanya custom akan meminta anda untuk membuat surat pernyataan bahwa ini adalah untuk keperluan pribadi dan tidak untuk dijual. Namun hal ini juga subjected ke custom approval.
Sumber :
_https://tidurberjalan.wordpress.com/2013/03/06/red-line-vs-green-line-di-bea-cukai/
Medical Doctor, WordPress Fan & Radio Broadcasting. Founder KLIKHOST.COM